Selasa, 10 Desember 2013

Peringatan Hari HAM


       Hak asasi manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan warga Negara Indonesia. ( Gatot Ardian A, SH, Sp.N )
Saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan UU yang cukup memadai untuk penegakkan HAM. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang peradilan HAM yang cukup memadai. Menurut salah satu wakil ketua DPR RI Soetardjo Sunggoguritno hal ini merupakan tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia dalam upaya penegakkan HAM di negeri ini. Lebih lanjut Soertardjo mengatakan bahwa Indonesia perlu berbangga karena baru Indoensia dan Afrika Selatan yang kini memiliki UU tentang peradilan HAM.

       Berbagai deretan perangkat UU, dan peraturan-peraturan hukum telah di buat oleh pemerintah Indonesia. Namun sangat disayangkan deretan panjang perangkat hukum mengenai HAM ini sekan-akan hanya dijadikan sebuah pajangan buku yang disimpan begitu saja, realisasi dan penerapan dari aturan hukum tersebut masih jauh dari harapan. Dengan kata lain, perangkat hukum tersebut belum mampu menjerat berbagai peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental – baik itu yang dilakukan aparat militer maupun kelompok sipil. Pendek kata, peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk dan manifestasinya masih mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini.

       Budaya kekerasan yang marak baik dalam dimensi politik, sosial, ekonomi dan pendidikan makin meruyak di negeri. Hegemoni kekuasaan berupa dominasi kekerasan fisik oleh negara sebagai peninggalan rezim Orde Baru tampaknya masih mengambil tempat ke tataran masyarakat, yang kemudian memicu terjadinya konflik horizontal di samping konflik vertikal yang bersumber dari bipolarisme antara kepentingan rakyat dengan kepentingan kekuasaan.

       Selama ini pengakuan, penghormatan, perlindungan dan penegakan terhadap nilai-nilai HAM yang terjadi di Indonesia masih menunjukkan fakta terjadinya pelanggaran yang cukup tinggi. Wajah HAM di Indonesia masih kelabu, tuntutan rakyat terhadap pelaksanaan reformasi total diberbagai bidang kehidupan semakin deras. Dominasi kekerasan baik yang dilakukan oleh aparat keamanan, sipil maupun militer terhadap rakyat yang tidak berdaya masih kerap terjadi. Sedangkan peran militer yang tidak proporsional merupakan kontribusi besar atas sejumlah perkara yang melibatkan masalah HAM.

       Kalau kita mau melihat dan bercermin ke belakang berkait dengan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran HAM di Jatim ( tragedi alas tlogo ) baru sebagian kecil dari sejumlah pelanggaran HAM di wilayah Indonesia, terutama yang dilakukan oleh aparat keamanan. Mulai dari Sabang sampai Merauke , militer pun masih mendominasi pelaku pelanggaran HAM, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Dari berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi tersebut telah memakan korban baik tewas maupun yang cacat yang tidak sedikit.

       Sebagai salah satu contoh terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Militer adalah peristiwa yang terjadi di Aceh. Peristiwa ini memakan 2 korban jiwa dari pihak sipil. Peristiwa ini bermula ketika aparat TNI yang bermaskas di Jl. Line Piap Emoi melakukan penyisiran di wilayah kecamatan Meurah Mulia desa Blang Reuma. Tanpa suatu sebab yang pasti aparat TNI menganiaya 2 orang ( ayah dan anak) hingga meninggal. Munculnya kekerasan di Aceh ini dan di berbagai daerah lain si Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mempresentasikan fakta berbagai kekerasan yang oleh Militer di negeri ini.

       Apalagi kalau diingat berbagai peristiwa kekerasan lain di masa lampau yang terasa sangat panjang jika dideretkan secara lengkap mulai dari tragedi Priok, kekerasan pembantaian “dukun santet” di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain, tragedi Mei di Jakarta, Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, penangkapan yang salah tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan massa terjadi.

       Belum lagi track record militer dalam menghadapi para demonstran, terutama dari mahasiswa ketika memprotes arogansi pemerintah pusat, misalnya ketika mahasiswa baik di daerah maupun di pusat memprotes RUU KKN, demonstrasi Sidang Umum, aksi massa yang menurut pengadilan Soeharto dan masih banyak kasus demonstrasi lainnya yang akhirnya memakan korban yang cukup besar, baik nyawa maupun materiil. Semua kenyataan tersebut menjadi catatan buram pelaksanaan HAM di Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan.

       Buruknya segi penyelesaian terhadap pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh Militer juga semakin membuat masyarakat publik semakin yakin terhadap buruknya pelaksanaan HAM di Indonesia
Selama ini berbagai pelanggaran HAM yang indikasi kuatnya dilakukan aparat keamanan tidak jelas penyelesain hukumnya. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan cenderung ditutup-tutupi dan bahkan diendapkaan. Kalaupun ada tindaklanjutnya, hal itu tidak kurang hanya basa-basi politik saja. Hal ini bisa kita lihat ketika DPR “mengadili” mantan jenderal berkait dengan pelanggaran HAM di Aceh, Tanjung Priok, Peristiwa Kudatuli dan Timor-Timur.

       Publik menilainya hanya sekedar basa-basi dan sandiwara politik semata. DPR saat itu cenderung masih “takut” dan kurang piawai menghadapi para jenderal tersebut, sehingga tidak bisa maksimal mengorek lebih jauh keterlibatan mereka. Contoh dari sifat “takut” DPR adalah dalam pengambilan keputusan terhadap kasus semanggi dan trisakti. DPR mengambil keputusan bahwa peristiwa tersebut bukan termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat (kompas.com, 1/02/01).

       Padahal kenyataannya, banyak korban jiwa akibat tindakan semena – mena dari Militer. Apalagi ketika para jenderal berapologi dengan retorika khas militer dan berlindung di balik baju “kebesarannya” berdalih tugas negara, menyelamatkan negara, menjaga “stabilitas nasional” dan sebagainya, menjadikan kasus tersebut semakin tidak jelas arahnya penyelesaiannya.

       Sungguh suatu hal yang sangat ironis dan paradoks, ketika kita beritikad kuat dengan semangat reformasi untuk membangun demokrasi. Namun pada saat yang sama justru terjadi sebuah praktik yang dapat membunuh tumbuhnya demokrasi itu sendiri, yakni pelanggaran HAM. Karena harus diingat bahwa salah satu syarat bagi tumbuh-berkembangnya demokrasi adalah terjaminnya pelaksanaan Hak-hak Asasi Manusia. Akan tetapi, realitas yang terjadi sekarang justru sebaliknya.

       Berbagai refleksi kasus di atas semakin menyakinkan masyarakat publik bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia masih dipenuhi cacat yang begitu parah. Oleh karena itu dalam peringatan hari HAM sedunia pada tanggal 10 Desember, sejarah kelam yang menyangkut pelaksanaan HAM di Indonesia ini bisa dijadikan pelajaran dan cermin bagi semua pihak. Tterutama pihak aparat keamanan yang sering menjadi biang pelanggaran HAM di Indonesia. Sudah seharusnya pihak aparat keamanan menjadi pelopor bagi pelaksanaan HAM di Indonesia yang baik, bukan malah sebaliknya menjadi pelaku dari pelanggaran HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar