Hak asasi manusia ( HAM ) adalah
seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum,
Pemerintah dan warga Negara Indonesia. ( Gatot Ardian A, SH, Sp.N )
Saat ini Indonesia telah
memiliki perangkat hukum dan UU yang cukup memadai untuk penegakkan HAM.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM,
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang
peradilan HAM yang cukup memadai. Menurut salah satu wakil ketua DPR RI
Soetardjo Sunggoguritno hal ini merupakan tonggak sejarah baru bagi
bangsa Indonesia dalam upaya penegakkan HAM di negeri ini. Lebih lanjut
Soertardjo mengatakan bahwa Indonesia perlu berbangga karena baru
Indoensia dan Afrika Selatan yang kini memiliki UU tentang peradilan
HAM.
Berbagai deretan perangkat UU, dan
peraturan-peraturan hukum telah di buat oleh pemerintah Indonesia. Namun
sangat disayangkan deretan panjang perangkat hukum mengenai HAM ini
sekan-akan hanya dijadikan sebuah pajangan buku yang disimpan begitu
saja, realisasi dan penerapan dari aturan hukum tersebut masih jauh dari
harapan. Dengan kata lain, perangkat hukum tersebut belum mampu
menjerat berbagai peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, dalam bentuk
kekerasan fisik maupun kekerasan mental – baik itu yang dilakukan aparat
militer maupun kelompok sipil. Pendek kata, peristiwa pelanggaran HAM
dalam bentuk dan manifestasinya masih mewarnai kehidupan sosial politik
negeri ini.
Budaya kekerasan yang marak baik dalam dimensi
politik, sosial, ekonomi dan pendidikan makin meruyak di negeri.
Hegemoni kekuasaan berupa dominasi kekerasan fisik oleh negara sebagai
peninggalan rezim Orde Baru tampaknya masih mengambil tempat ke tataran
masyarakat, yang kemudian memicu terjadinya konflik horizontal di
samping konflik vertikal yang bersumber dari bipolarisme antara
kepentingan rakyat dengan kepentingan kekuasaan.
Selama ini pengakuan, penghormatan, perlindungan dan
penegakan terhadap nilai-nilai HAM yang terjadi di Indonesia masih
menunjukkan fakta terjadinya pelanggaran yang cukup tinggi. Wajah HAM di
Indonesia masih kelabu, tuntutan rakyat terhadap pelaksanaan reformasi
total diberbagai bidang kehidupan semakin deras. Dominasi kekerasan baik
yang dilakukan oleh aparat keamanan, sipil maupun militer terhadap
rakyat yang tidak berdaya masih kerap terjadi. Sedangkan peran militer
yang tidak proporsional merupakan kontribusi besar atas sejumlah perkara
yang melibatkan masalah HAM.
Kalau kita mau melihat dan bercermin ke belakang
berkait dengan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, kasus-kasus
pelanggaran HAM di Jatim ( tragedi alas tlogo ) baru sebagian kecil dari
sejumlah pelanggaran HAM di wilayah Indonesia, terutama yang dilakukan
oleh aparat keamanan. Mulai dari Sabang sampai Merauke , militer pun
masih mendominasi pelaku pelanggaran HAM, baik dalam bentuk kekerasan
fisik maupun kekerasan mental. Dari berbagai bentuk pelanggaran HAM yang
terjadi tersebut telah memakan korban baik tewas maupun yang cacat yang
tidak sedikit.
Sebagai salah satu contoh terhadap pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh Militer adalah peristiwa yang terjadi di Aceh.
Peristiwa ini memakan 2 korban jiwa dari pihak sipil. Peristiwa ini
bermula ketika aparat TNI yang bermaskas di Jl. Line Piap Emoi melakukan
penyisiran di wilayah kecamatan Meurah Mulia desa Blang Reuma. Tanpa
suatu sebab yang pasti aparat TNI menganiaya 2 orang ( ayah dan anak)
hingga meninggal. Munculnya kekerasan di Aceh ini dan di berbagai daerah
lain si Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mempresentasikan fakta
berbagai kekerasan yang oleh Militer di negeri ini.
Apalagi kalau diingat berbagai peristiwa kekerasan
lain di masa lampau yang terasa sangat panjang jika dideretkan secara
lengkap mulai dari tragedi Priok, kekerasan pembantaian “dukun santet”
di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain, tragedi Mei di Jakarta,
Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996,
penangkapan yang salah tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan massa
terjadi.
Belum lagi track record militer dalam menghadapi para
demonstran, terutama dari mahasiswa ketika memprotes arogansi
pemerintah pusat, misalnya ketika mahasiswa baik di daerah maupun di
pusat memprotes RUU KKN, demonstrasi Sidang Umum, aksi massa yang
menurut pengadilan Soeharto dan masih banyak kasus demonstrasi lainnya
yang akhirnya memakan korban yang cukup besar, baik nyawa maupun
materiil. Semua kenyataan tersebut menjadi catatan buram pelaksanaan HAM
di Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan.
Buruknya segi penyelesaian terhadap pelanggaran HAM
terutama yang dilakukan oleh Militer juga semakin membuat masyarakat
publik semakin yakin terhadap buruknya pelaksanaan HAM di Indonesia
Selama ini berbagai pelanggaran HAM yang indikasi
kuatnya dilakukan aparat keamanan tidak jelas penyelesain hukumnya.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan cenderung
ditutup-tutupi dan bahkan diendapkaan. Kalaupun ada tindaklanjutnya, hal
itu tidak kurang hanya basa-basi politik saja. Hal ini bisa kita lihat
ketika DPR “mengadili” mantan jenderal berkait dengan pelanggaran HAM di
Aceh, Tanjung Priok, Peristiwa Kudatuli dan Timor-Timur.
Publik menilainya hanya sekedar basa-basi dan
sandiwara politik semata. DPR saat itu cenderung masih “takut” dan
kurang piawai menghadapi para jenderal tersebut, sehingga tidak bisa
maksimal mengorek lebih jauh keterlibatan mereka. Contoh dari sifat
“takut” DPR adalah dalam pengambilan keputusan terhadap kasus semanggi
dan trisakti. DPR mengambil keputusan bahwa peristiwa tersebut bukan
termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat (kompas.com, 1/02/01).
Padahal kenyataannya, banyak korban jiwa akibat
tindakan semena – mena dari Militer. Apalagi ketika para jenderal
berapologi dengan retorika khas militer dan berlindung di balik baju
“kebesarannya” berdalih tugas negara, menyelamatkan negara, menjaga
“stabilitas nasional” dan sebagainya, menjadikan kasus tersebut semakin
tidak jelas arahnya penyelesaiannya.
Sungguh suatu hal yang sangat ironis dan paradoks,
ketika kita beritikad kuat dengan semangat reformasi untuk membangun
demokrasi. Namun pada saat yang sama justru terjadi sebuah praktik yang
dapat membunuh tumbuhnya demokrasi itu sendiri, yakni pelanggaran HAM.
Karena harus diingat bahwa salah satu syarat bagi tumbuh-berkembangnya
demokrasi adalah terjaminnya pelaksanaan Hak-hak Asasi Manusia. Akan
tetapi, realitas yang terjadi sekarang justru sebaliknya.
Berbagai refleksi kasus di atas semakin menyakinkan
masyarakat publik bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia masih dipenuhi
cacat yang begitu parah. Oleh karena itu dalam peringatan hari HAM
sedunia pada tanggal 10 Desember, sejarah kelam yang menyangkut
pelaksanaan HAM di Indonesia ini bisa dijadikan pelajaran dan cermin
bagi semua pihak. Tterutama pihak aparat keamanan yang sering menjadi biang
pelanggaran HAM di Indonesia. Sudah seharusnya pihak aparat keamanan
menjadi pelopor bagi pelaksanaan HAM di Indonesia yang baik, bukan malah
sebaliknya menjadi pelaku dari pelanggaran HAM.